Bagaimana hukum bersentuhan dengan isteri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?
Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:
Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
Atau kamu telah berjima’ dengan
istri. (QS. An-Nisa’: 43).
Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:
- Dalil Pertama:
- Dalil Kedua:
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1/104.
- Dalil Ketiga:
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).
- Dalil Keempat:
Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).
- Dalil Kelima:
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata: “Pernah Rasulullah n melakukan shalat sedangkan
saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau
ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai
berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi
dalam Al-Majmu’ 2/35).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu
dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam
At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna
“Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah
dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent)”.
Pendapat Ketiga:
Memerinci:- Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan
- Tidak batal apabila tidak dengan syahwat.
“Memang asal menyentuh tidak
membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air
madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.
(Lihat Al-Mughni 1/260 Ibnu Qudamah).
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua
yaitu
Menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali
apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka
batal wudhunya
Atau minimal adalah
pendapat ketiga.
Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat
tersebut adalah jima’ berdasarkan argumen sebagai berikut:- Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (Al-Qamus Al-Mukhith Al-Fairuz Abadi 2/259).
- Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
- Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadits-hadits shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
- Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 8/506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadits Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadits Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadits. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadits, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).
kalau belum jelas masuk link aslinya
+ komentar + 1 komentar
bisa ribet kalo nyentuh istri sendiri wudhu jd batal... :D
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung, Suka postingan ini?Tinggalkan komentar di bawah ini, terima kasih! :)