. . .
Latest Info :
.
Kota Tasikmalaya ◄ ((KLIK)) Siap Menjadi Tuam Rumah MTQ Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 

Tata Pemerintahan Desa

TRANSFORMASI DEMOKRASI DAN OTONOMI
DALAM TATA PEMERINTAHAN DESA MENGWI ERA TRANSISI:
PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA
Ringkasan Disertasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, 2008
Oleh: I Wayan Gede Suacana



ABSTRACT
This study discusses “Democracy and Autonomy Transformation in the Governance of Mengwi Village in the Transition Era: A Cultural Studies Perspective”. The problem investigated was the shift in the nation’s approach to the policy of villages after the reign of New Order. In this era, the policy of democratization and decentralization appeared till the village level. However, the policy was not totally implemented in the villages. The aims of this study are: to describe democracy transformation in the village governance in the transition era, to clarify autonomy transformation in the village governance in the transition era, and to analyze the implication and the sense of democracy and autonomy transformation to the development of village governance.
This study was conducted employing qualitative method. Various forms of democracy and autonomy transformation in the village governance took place during the transition era. In the first stage, the primary and secondary data were collected. In the second stage, the theory applied for examining the data was chosen, and in the third stage, the collected and classified data were analyzed and interpreted. In the fourth stage the results of the study were reported and constructed. The theories applied in this study include; democracy, political democracy, substantial democracy, decentralization and political culture. The approaches applied were Tranpolitic and post-structuralism.
The results of the study showed that; first, the village democracy in the first transition era (1998-1999) was mostly still uniform, and there were not many choices in the implementation of the village democracy. The village autonomy was still blocked in centralistic pattern, homogeneous with hierarchical structure. Second, in the second transition era (2000-2004) the role of the village representatives became so democratic accompanied by the extended village autonomy. Third, in the third transition era (2005-2008) democracy became retransformed to the procedural pattern accompanied by the strengthening of supra village government power decreasing the autonomy of the villages. Fourth, democracy and autonomy transformation contributed to the demand for the strengthening of democracy institutions, better community participation and more accountable public services, transparence and responsiveness to what was needed by the people. Fifth, democracy and village autonomy transformation, in addition to having the sense of involving the active participation of the society in the village governance, also had the sense of strengthening the civil and political society in every village social organization which actualized what was needed by the society. This condition at the same time functioned as the responses to nation’s hegemony through the supra village government which took place until the first transition era.
Key words: democracy and autonomy transformation, supra village power relation, dynamic of village governance, cultural studies.
dalam Bahasa Indonesia 

Penelitian ini membahas "Demokrasi dan Transformasi Otonomi dalam Pemerintahan Desa Mengwi di Era Transisi: Perspektif Kajian Budaya". Masalah diselidiki adalah pergeseran dalam pendekatan bangsa dengan kebijakan desa setelah pemerintahan Orde Baru. Dalam era ini, kebijakan demokratisasi dan desentralisasi muncul sampai tingkat desa. Namun, kebijakan itu tidak benar-benar diterapkan di desa-desa. Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk menggambarkan transformasi demokrasi di pemerintahan desa di era transisi, untuk memperjelas transformasi otonomi dalam pemerintahan desa di era transisi, dan untuk menganalisis implikasi dan rasa demokrasi dan transformasi otonomi untuk pengembangan pemerintahan desa.Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif. Berbagai bentuk demokrasi dan transformasi otonomi di pemerintahan desa terjadi selama masa transisi. Pada tahap pertama, data primer dan sekunder yang dikumpulkan. Pada tahap kedua, teori diterapkan untuk memeriksa data dipilih, dan pada tahap ketiga, data yang dikumpulkan dan diklasifikasikan dianalisis dan diinterpretasikan. Pada tahap keempat hasil penelitian dilaporkan dan dibangun. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; demokrasi, demokrasi politik, demokrasi desentralisasi, substansial dan budaya politik. Pendekatan yang digunakan adalah Tranpolitic dan pasca-strukturalisme.Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, demokrasi desa di era transisi pertama (1998-1999) sebagian besar masih seragam, dan tidak ada banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. The otonomi desa masih diblokir dalam pola sentralistik, homogen dengan struktur hirarkis. Kedua, di era transisi kedua (2000-2004) peran perwakilan desa menjadi begitu demokratis disertai dengan otonomi desa diperpanjang. Ketiga, di era transisi ketiga (2005-2008) menjadi demokrasi retransformed dengan pola prosedural disertai dengan penguatan kekuasaan pemerintah desa supra mengurangi otonomi desa. Keempat, demokrasi dan transformasi otonomi berkontribusi terhadap permintaan untuk penguatan lembaga-lembaga demokrasi, partisipasi masyarakat yang lebih baik dan pelayanan publik yang lebih akuntabel, transparansi dan tanggap terhadap apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kelima, demokrasi dan otonomi desa transformasi, selain memiliki rasa yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam pemerintahan desa, juga memiliki arti memperkuat masyarakat sipil dan politik di setiap organisasi sosial desa yang diaktualisasikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kondisi ini sekaligus berfungsi sebagai tanggapan terhadap hegemoni bangsa melalui pemerintah desa supra yang berlangsung sampai era transisi pertama.Kata kunci: demokrasi dan otonomi transformasi, supra desa relasi kekuasaan, dinamis pemerintahan desa, cultural studies.

PENDAHULUAN

Disertasi ini membicarakan “Transformasi Demokrasi dan Otonomi dalam Tata Pemerintahan Desa Mengwi Era Transisi: Perspektif Kajian Budaya”. Dalam memahami persoalan ini dicermati sosok tata pemerintahan desa seiring berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Dalam era transisi yang dimulai sejak 1998 terjadi pergeseran sistem pemerintahan dari yang berorientasi pada negara ke masyarakat, dari sistem otoritarian ke egalitarian dan dari praktek pemerintahan (government) menjadi tata pemerintahan (governance). Kondisi ini disertai dengan implementasi kebijakan demokratisasi dan desentralisasi hingga ke tingkat desa yang menggeser pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat-daerah dengan desa.
Namun, masih ada beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan tersebut khususnya di tingkat desa. Adanya kesenjangan antara kenyataan (das sollen) masih adanya persoalan hubungan dalam sistem dualitas desa dan harapan (das sein) bagi terwujudnya tata pemerintahan di tingkat desa mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Persoalan khusus yang dicermati adalah transformasi demokrasi dan otonomi desa yang terjadi selama era transisi, yakni era pasca keruntuhan rejim Orde Baru (1998-2008). Permasalahan pokok penelitian ada tiga. Pertama, bagaimana transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa era transisi; Kedua, bagaimana transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan Ketiga, apa implikasi dan makna transformasi demokrasi dan otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.
Secara umum tujuan penelitian ini: mendeskripsikan transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan Desa Mengwi era transisi; menjelaskan perluasan proses pengelolaan tata pemerintahan desa melalui keterlibatan stakeholders dalam bidang sosial dan politik maupun pendayagunaan sumber daya alam dan keuangan desa; dan menganalisis penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang diarahkan demi kepentingan masyarakat desa. Secara khusus tujuan penelitian ini: pertama, mendeskripsikan transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa era transisi; kedua, menjelaskan transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan ketiga, menganalisis implikasi dan makna transformasi demokrasi dan otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.
Manfaat akademik penelitian ini adalah: pertama, dapat menemukan kerangka pemikiran yang lebih luas mengenai tata pemerintahan desa berikut transformasi demokrasi dan otonominya yang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi; kedua, memberikan sumbangan pemikiran baru mengenai penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik dan demokratis, serta sumbangannya untuk pengembangan kajian budaya; dan ketiga, membangun dasar pijakan untuk penelitian lanjutan tentang transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang menggunakan perspektif kajian budaya.
Selain itu, secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi elemen pemerintah desa dan semua pihak terkait (stakeholders), seperti kepala desa, BPD dan masyarakat sipil bisa lebih memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan menerapkan prinsip-prinsip tranparansi, partisipasi, akuntabilitas dan responsibilitas dalam upaya mengembangkan tata pemerintahan desa. Bagi pemerintah pusat dan daerah bisa mendapatkan rekomendasi alternatif untuk memformulasikan kebijakan publik (undang-undang dan peraturan daerah) yang berkaitan dengan isu penguatan tata pemerintahan desa.


 MATERI DAN DISKUSI


Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif yang menggambarkan transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa pada era transisi. Di sini digali berbagai bentuk transformasi demokrasi dan otonomi berikut implikasi dan maknanya bagi pengembangan tata pemerintahan desa. Tahap pertama, dilakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Tahap kedua, memilih teori untuk mengkaji data. Tahap ketiga, menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah diseleksi. Tahap keempat, melakukan penulisan dan konstruksi dari seluruh hasil penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan teori demokrasi, teori demokrasi politik, teori demokrasi substansial, teori desentralisasi dan teori budaya politik. Pendekatan yang dipakai adalah transpolitika dan postrukturalisme.
Untuk mengetahui hasil penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, dari analisis era transisi berdasarkan kriteria normatif dan sosiologis yang difokuskan pada saat awal era transisi, yakni sejak berakhirnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru (1998) ke pemerintahan berikutnya serta sifat relasi kekuasaan antara pemerintahan supradesa dengan desa yang dimanifestasikan dalam sifat kendali legislasi, realitasnya era transisi dapat dibagi menjadi tiga. Era transisi pertama (1998-1999) masih menyisakan kuatnya pengaruh pusat serta penyeragaman dalam pengaturan pemerintahan desa dan merupakan masa akhir berlakunya UU No. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa; Era transisi kedua (2000-2004) merupakan puncak liberalisasi politik dengan pemberian otonomi yang sangat luas bagi daerah dan desa dengan pemberlakuan UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan Era transisi ketiga (2005-2008) kecenderungan untuk menata kembali beberapa kewenangan daerah dan desa oleh pusat dengan pemberlakuan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72/ 2005 tentang Desa.
Kedua, dari analisis transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang. Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga. Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.
Ketiga, dari analisis transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya otonomi desa dalam era transisi pertama masih bersifat sentralistis-homogenitas yang terbelenggu dalam pola sentralistis, homogen dengan struktur yang hirarkis sehingga sulit membawanya ke luar dari sistem yang telah ditentukan sebelumnya oleh pusat. Kondisi ini menyulitkan pengaturan tata pemerintahan desa yang masih menganut pola dualitas. Dalam era transisi kedua ada transformasi otonomi yang bersifat desentralistis-heterogenitas dengan pemberian otonomi yang lebih luas hingga ke tingkat desa. Sebelumnya, bidang pelayanan didekonsentrasikan kepada desa, sedangkan pengambilan keputusan strategis menyangkut desa tetap terpusat di Jakarta. Transformasi dari sentralisasi ke desentralisasi kekuasaan terjadi dengan mengembangkan tata pemerintahan desa dengan berbasiskan keberagaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam era transisi ketiga, otonomi desa kembali bertransformasi menuju bentuk heterogenitas-resentralistis dengan menguatnya kontrol negara via pemerintah supradesa terhadap desa lewat kebijakan tentang desa terutama dalam hal pembentukan, penghapusan, penggabungan, pengaturan perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, maupun pembangunan desa. Semuanya itu dilakukan oleh perangkat pemerintahan kabupaten yang ditetapkan lewat peraturan daerah dengan acuan kebijakan pemerintah pusat.
Keempat, dari analisis implikasi transformasi demokrasi dan otonomi desa, realitasnya ada tuntutan akan penguatan institusi-institusi demokratis, peningkatan partisipasi masyarakat, dan membuat pelayanan publik yang lebih tranparan, akuntabel dan responsif terhadap kepentingan masyarakat desa. Pemerintah desa tidak lagi berjalan dan mengatur dirinya sendiri sebagaimana halnya praktek sebelumnya, tetapi sudah dikontrol dan diimbangi dengan kondisi masyarakat sipil dan masyarakat politik (BPD-1 dan 2) yang aktif, artikulatif dan terorganisir. Transformasi demokrasi dan otonomi bermakna penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata pemerintahan desa. Kehadiran masyarakat sipil yang terwadahi dalam berbagai organisasi sosial desa yang berani mengartikulasikan kepentingan masyarakat desa merupakan sebuah arus balik hegemoni negara yang berlangsung sebelumnya. Begitu pula parlemen desa (terutama BPD-1) selaku masyarakat politik sudah bertindak selaku mediating structure atau instansi perantara yang menerjemahkan kekuasaan negara pada level yang terbawah menjadi pemerintahan berdasarkan hukum, yaitu transpormasi dari the rule of power menjadi the rule of law. 

TEMUAN BARU PENELITIAN

Temuan baru dalam penelitian ini: Pertama, terjadi transformasi dari demokrasi normatif yang bersifat otoritarian-leviathan pada era transisi pertama menjadi demokrasi substansial yang bersifat libertarian liliput pada era transisi kedua. Kondisi ini diikuti oleh terjadinya minimalisasi dominasi birokrasi desa yang kemudian diimbangi oleh peran Badan Perwakilan Desa (BPD-1) maupun institusi-institusi informal desa, seperti banjar adat, desa adat dan sekeha teruna. Perimbangan peran antar lembaga dalam era transisi kedua merupakan bagian dari modal sosial yang didalamnya berkembang nilai-nilai partisipasi secara otentik.
Kedua, demokrasi substansial yang bersifat libertarian-liliput dalam era transisi kedua cenderung bertransformasi kembali menjadi demokratis prosedural dalam era transisi ketiga. Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD-1) digantikan menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) selaku badan legislatif baru di desa. Peran mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa tetap ada, namun minus hak untuk meminta pertanggungjawaban kepala desa.
Ketiga, terjadi transformasi otonomi yang bersifat sentralistis-homogenitas pada era transisi pertama menjadi otonomi desentralistis-heterogenitas pada era transisi kedua. Perspektif tata pemerintahan yang meminimalkan peranan negara (governance as the minimal state) lalu diterapkan dengan meminimalkan intervensi pemerintah pada kehidupan masyarakat desa. Masyarakat mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur dirinya sendiri karena peran pemerintah dibatasi hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Sudah ada semacam mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga desa mengatur sumber daya mereka serta memecahkan masalah-masalah publik yang muncul.
Keempat, otonomi desentralistis-heterogenitas pada era transisi kedua bertransformasi kembali menjadi otonomi yang bersifat heterogenitas-resentralistis dalam era transisi ketiga. Pemerintah supra desa menarik kembali beberapa hak otonomi desa sehingga tidak sepenuhnya menciptakan lingkungan yang bisa memfasilitasi masyarakat politik dalam lembaga legislatif desa, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi di desa dapat bersinergi dengan pemerintah desa.
Kelima, kondisi transformasi demokrasi dan otonomi yang bersifat dinamis-fluktuatif dalam era transisi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan tata pemerintahan desa. Perkembangan tata pemerintahan desa yang sudah baik dalam era transisi kedua kembali meredup dalam era transisi ketiga seiring peran pemerintah supradesa yang dalam batas tertentu–walau tidak sebesar dan sekuat seperti dalam era transisi pertama—telah ikut menahan laju transformasi demokrasi dan otonomi desa. Tampak belum adanya konsistensi dalam komitmen dan political will pemerintah untuk menerapkan kebijakan demokrasi dan otonomi yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan desa.

SIMPULAN PENELITIAN

Simpulan penelitian ini adalah transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang berupa implementasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat telah dimulai sejak akhir era transisi pertama, mencapai puncak pada era transisi kedua, dan kembali menyurut pada era transisi ketiga. Transformasi demokrasi desa yang hakekatnya merupakan perubahan struktur, fungsi dan mekanisme pemerintahan desa bisa menjadi lebih demokratis dengan tetap memperhatikan pelembagaan partisipasi politik warga, kontrol efektif lembaga perwakilan desa dan kekuatan kritis, transparansi dalam proses kebijakan desa, serta adanya akuntabilitas kepada masyarakat desa selaku pemilik kedaulatan. Transformasi otonomi desa bermakna penghormatan dualitas desa, kearifan lokal di desa, penerapan desentralisasi dan memberikan kewenangan desa menangani urusan yang secara asli menjadi kewenangannya dalam bingkai negara kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A., dan Verba, Sidney, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara.

Bennett, David (ed), 1993. Cultural Studies: Pluralism and Theory, Melbourne, Melbourne: University Literary and Cultural Studies, Volume 2

Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methodes for the Social Sciences, Boston: Indiana University of Pennsylvania.

Cheema, Shabir G., dan Rondinelli, Dennis A.(eds) 1988. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Beverly Hill USA: Sage Publication.
  

Dahl, Robert A.1971. Polyarchy: Participation and Opposition, New Haven, Yale University.
___________, A., 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, New Haven: Yale University.
Dwipayana, Ari, dan Eko, Sutoro (ed), 2003. Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press. 
Eko, Sutoro dan Rozaki, Abdur (ed), 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta: Penerbit IRE Press.

Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Gaffar, Afan, 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geriya, I Wayan, 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Held, David, 1987. Models of Democracy, Cambridge: Polity Press.
Holt, Claire (ed), 1972. Culture and Politics in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.

Jackson, Karl D., and Pye, Lucian W. (eds), 1978. Poltical Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of California Press.
Karim, Abdul Gaffar, (ed), 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
Kautilya (Canakya), Made Astana dan CS Anomdiputro (penerj.), 2003. Arthasastra, Surabaya, Penerbit Paramitha.
Maddick, 1963. Democracy, Decentralization and Development, Bombay: India, Asia Publishing House.
Mawhood, Philip, 1983. Local Government in The Third World, Chicester, UK: John Wisley and Sons.
Nordholt, Henk Schulte, 2006. The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan.
Piliang, Yasraf A., 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra.

Powel, Jr, G. Bingham, 1982. Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Mass., Harvad University Press.
Ritzer, George, 1980. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Said, Mas’ud, M., 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang: UMM Press.
Santoso, Purwo dkk (ed), 2003. Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM dan Pustaka Pelajar.
Smith, Brian, 1985. Decentralization, London UK: George Allen and Unwin
Sorensen, Georg, 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uhlin, Anders, 1995. Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors, Sweden: Departement of Political Science, Lund University.
Warren, Carol, 1993. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA., selaku promotor, Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS. selaku kopromotor I, dan Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH. MH., selaku kopromotor II, yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat dan bimbingan mulai penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendididikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Tim Manajemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan biaya studi dalam bentuk BPPS, Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali yang menaungi Universitas Warmadewa, Pemerintah Kabupaten Bangli, serta kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur Pascasarjana Universitas Udayana beserta staf, dan Ketua Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana beserta staf.

 
Share this article :
Comments
0 Comments

Post a Comment

Terima Kasih Telah Berkunjung, Suka postingan ini?Tinggalkan komentar di bawah ini, terima kasih! :)

 
Support : Creating Website | Admin | Fanpage Kami
Copyright © 2011. Google News - All Rights Reserved
Template Created by On Facebook Published by Group
Proudly powered by Blogger
.