TRANSFORMASI DEMOKRASI DAN OTONOMI
DALAM TATA PEMERINTAHAN DESA MENGWI ERA TRANSISI:
PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA
Ringkasan Disertasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana, 2008
Oleh:
ABSTRACT
This study discusses “Democracy and Autonomy
Transformation in the Governance of Mengwi Village in the Transition
Era: A Cultural Studies Perspective”. The problem investigated was the
shift in the nation’s approach to the policy of villages after the reign
of New Order. In this era, the policy of democratization
and decentralization appeared till the village level. However, the
policy was not totally implemented in the villages. The aims of this
study are: to describe democracy transformation in the village
governance in the transition era, to clarify autonomy transformation in
the village governance in the transition era, and to analyze the
implication and the sense of democracy and autonomy transformation to
the development of village governance.
This study was conducted employing qualitative
method. Various forms of democracy and autonomy transformation in the
village governance took place during the transition era. In the first
stage, the primary and secondary data were collected. In the second
stage, the theory applied for examining the data was chosen, and in the
third stage, the collected and classified data were analyzed and
interpreted. In the fourth stage the results of the study were reported
and constructed. The theories applied in this study include; democracy,
political democracy, substantial democracy, decentralization and
political culture. The approaches applied were Tranpolitic and
post-structuralism.
The results of the study showed that; first,
the village democracy in the first transition era (1998-1999) was mostly
still uniform, and there were not many choices in the implementation of
the village democracy. The village autonomy was still blocked in
centralistic pattern, homogeneous with hierarchical structure. Second,
in the second transition era (2000-2004) the role of the village
representatives became so democratic accompanied by the extended village
autonomy. Third, in the third transition era (2005-2008) democracy
became retransformed to the procedural pattern accompanied by the
strengthening of supra village government power decreasing
the autonomy of the villages. Fourth, democracy and autonomy
transformation contributed to the demand for the strengthening of
democracy institutions, better community participation and more
accountable public services, transparence and responsiveness to what was
needed by the people. Fifth, democracy and village autonomy
transformation, in addition to having the sense of involving the active
participation of the society in the village governance, also had the
sense of strengthening the civil and political society in every village
social organization which actualized what was needed by the society.
This condition at the same time functioned as the responses to nation’s
hegemony through the supra village government which took place until the
first transition era.
Key words: democracy and autonomy transformation, supra village power relation, dynamic of village governance, cultural studies.
dalam Bahasa Indonesia
Penelitian
ini membahas "Demokrasi dan Transformasi Otonomi dalam Pemerintahan
Desa Mengwi di Era Transisi: Perspektif Kajian Budaya". Masalah diselidiki adalah pergeseran dalam pendekatan bangsa dengan kebijakan desa setelah pemerintahan Orde Baru. Dalam era ini, kebijakan demokratisasi dan desentralisasi muncul sampai tingkat desa. Namun, kebijakan itu tidak benar-benar diterapkan di desa-desa. Tujuan
dari penelitian ini adalah: untuk menggambarkan transformasi demokrasi
di pemerintahan desa di era transisi, untuk memperjelas transformasi
otonomi dalam pemerintahan desa di era transisi, dan untuk menganalisis
implikasi dan rasa demokrasi dan transformasi otonomi untuk pengembangan
pemerintahan desa.Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif. Berbagai bentuk demokrasi dan transformasi otonomi di pemerintahan desa terjadi selama masa transisi. Pada tahap pertama, data primer dan sekunder yang dikumpulkan. Pada
tahap kedua, teori diterapkan untuk memeriksa data dipilih, dan pada
tahap ketiga, data yang dikumpulkan dan diklasifikasikan dianalisis dan
diinterpretasikan. Pada tahap keempat hasil penelitian dilaporkan dan dibangun. Teori-teori
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; demokrasi, demokrasi
politik, demokrasi desentralisasi, substansial dan budaya politik. Pendekatan yang digunakan adalah Tranpolitic dan pasca-strukturalisme.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, pertama, demokrasi desa di era transisi
pertama (1998-1999) sebagian besar masih seragam, dan tidak ada banyak
pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. The otonomi desa masih diblokir dalam pola sentralistik, homogen dengan struktur hirarkis. Kedua,
di era transisi kedua (2000-2004) peran perwakilan desa menjadi begitu
demokratis disertai dengan otonomi desa diperpanjang. Ketiga,
di era transisi ketiga (2005-2008) menjadi demokrasi retransformed
dengan pola prosedural disertai dengan penguatan kekuasaan pemerintah
desa supra mengurangi otonomi desa. Keempat,
demokrasi dan transformasi otonomi berkontribusi terhadap permintaan
untuk penguatan lembaga-lembaga demokrasi, partisipasi masyarakat yang
lebih baik dan pelayanan publik yang lebih akuntabel, transparansi dan
tanggap terhadap apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kelima,
demokrasi dan otonomi desa transformasi, selain memiliki rasa yang
melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam pemerintahan desa,
juga memiliki arti memperkuat masyarakat sipil dan politik di setiap
organisasi sosial desa yang diaktualisasikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kondisi
ini sekaligus berfungsi sebagai tanggapan terhadap hegemoni bangsa
melalui pemerintah desa supra yang berlangsung sampai era transisi
pertama.Kata kunci: demokrasi dan otonomi transformasi, supra desa relasi kekuasaan, dinamis pemerintahan desa, cultural studies.
PENDAHULUAN
MATERI DAN DISKUSI
PENDAHULUAN
Disertasi ini membicarakan
“Transformasi Demokrasi dan Otonomi dalam Tata Pemerintahan Desa Mengwi
Era Transisi: Perspektif Kajian Budaya”. Dalam memahami persoalan ini
dicermati sosok tata pemerintahan desa seiring berakhirnya kekuasaan
Orde Baru. Dalam era transisi yang dimulai sejak 1998 terjadi pergeseran
sistem pemerintahan dari yang berorientasi pada negara ke
masyarakat, dari sistem otoritarian ke egalitarian dan dari praktek
pemerintahan (government) menjadi tata pemerintahan (governance).
Kondisi ini disertai dengan implementasi kebijakan demokratisasi dan
desentralisasi hingga ke tingkat desa yang menggeser pola hubungan
kekuasaan antara pemerintah pusat-daerah dengan desa.
Namun, masih ada beberapa persoalan
yang muncul dalam pelaksanaan kebijakan tersebut khususnya di tingkat
desa. Adanya kesenjangan antara kenyataan (das sollen) masih adanya persoalan hubungan dalam sistem dualitas desa dan harapan (das sein) bagi
terwujudnya tata pemerintahan di tingkat desa mendorong dilaksanakannya
penelitian ini. Persoalan khusus yang dicermati adalah transformasi
demokrasi dan otonomi desa yang terjadi selama era transisi, yakni era
pasca keruntuhan rejim Orde Baru (1998-2008). Permasalahan pokok
penelitian ada tiga. Pertama, bagaimana transformasi demokrasi dalam
tata pemerintahan desa era transisi; Kedua, bagaimana transformasi
otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan Ketiga, apa implikasi dan makna transformasi demokrasi dan otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.
Secara umum tujuan penelitian ini:
mendeskripsikan transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata
pemerintahan Desa Mengwi era transisi; menjelaskan perluasan proses
pengelolaan tata pemerintahan desa melalui keterlibatan stakeholders dalam bidang sosial dan politik maupun pendayagunaan sumber daya alam dan keuangan desa; dan menganalisis penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang diarahkan demi kepentingan masyarakat desa. Secara khusus tujuan penelitian ini: pertama, mendeskripsikan transformasi
demokrasi dalam tata pemerintahan desa era transisi; kedua, menjelaskan
transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa era transisi; dan
ketiga, menganalisis implikasi dan makna transformasi demokrasi dan
otonomi desa bagi pengembangan tata pemerintahan.
Manfaat akademik penelitian ini
adalah: pertama, dapat menemukan kerangka pemikiran yang lebih luas
mengenai tata pemerintahan desa berikut transformasi demokrasi dan
otonominya yang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi; kedua, memberikan sumbangan pemikiran
baru mengenai penyelenggaraan tata pemerintahan desa yang baik dan
demokratis, serta sumbangannya untuk pengembangan kajian budaya; dan
ketiga, membangun dasar pijakan untuk penelitian lanjutan tentang
transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang
menggunakan perspektif kajian budaya.
Selain itu, secara praktis
penelitian ini bermanfaat bagi elemen pemerintah desa dan semua pihak
terkait (stakeholders), seperti kepala desa, BPD dan masyarakat sipil
bisa lebih memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan
menerapkan prinsip-prinsip tranparansi, partisipasi, akuntabilitas dan
responsibilitas dalam upaya mengembangkan tata pemerintahan desa. Bagi
pemerintah pusat dan daerah bisa mendapatkan rekomendasi alternatif untuk memformulasikan kebijakan publik (undang-undang dan peraturan daerah) yang berkaitan dengan isu penguatan tata pemerintahan desa.
Penelitian ini dilaksanakan dengan
metode kualitatif yang menggambarkan transformasi demokrasi dan otonomi
dalam tata pemerintahan desa pada era transisi. Di sini digali berbagai
bentuk transformasi demokrasi dan otonomi berikut implikasi dan maknanya
bagi pengembangan tata pemerintahan desa. Tahap pertama,
dilakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Tahap kedua,
memilih teori untuk mengkaji data. Tahap ketiga, menganalisis dan
menginterpretasikan data yang telah diseleksi. Tahap keempat, melakukan
penulisan dan konstruksi dari seluruh hasil penelitian. Untuk mencapai
tujuan tersebut digunakan teori demokrasi, teori demokrasi politik,
teori demokrasi substansial, teori desentralisasi dan teori budaya
politik. Pendekatan yang dipakai adalah transpolitika dan
postrukturalisme.
Untuk mengetahui hasil penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama,
dari analisis era transisi berdasarkan kriteria normatif dan sosiologis
yang difokuskan pada saat awal era transisi, yakni sejak berakhirnya
kekuasaan pemerintahan Orde Baru (1998) ke pemerintahan berikutnya serta
sifat relasi kekuasaan antara pemerintahan supradesa dengan desa yang
dimanifestasikan dalam sifat kendali legislasi, realitasnya era transisi
dapat dibagi menjadi tiga. Era transisi pertama (1998-1999) masih
menyisakan kuatnya pengaruh pusat serta penyeragaman dalam pengaturan
pemerintahan desa dan merupakan masa akhir berlakunya UU No. 5/ 1979
tentang Pemerintahan Desa; Era transisi kedua (2000-2004) merupakan
puncak liberalisasi politik dengan pemberian otonomi yang sangat luas
bagi daerah dan desa dengan pemberlakuan UU No. 22/ 1999 tentang
Pemerintahan Daerah; dan Era transisi ketiga (2005-2008)
kecenderungan untuk menata kembali beberapa kewenangan daerah dan desa
oleh pusat dengan pemberlakuan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 72/ 2005 tentang Desa.
Kedua,
dari analisis transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa,
realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama bersifat
otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam
pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan
mekanisme dalam menjalankan pemerintahan desa sudah dibakukan.
Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat otoritarian tidak
memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam corak dan
tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua
terjadi transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan
penggantian Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat
korporatis dengan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa menjadi
Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh lebih demokratis sehingga dapat
menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang. Kondisi ini meningkatkan
keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang
disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga. Memasuki
era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi
ke arah pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan
dan proses demokrasi lewat pembentukan lembaga baru Badan
Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya jauh lebih lemah
dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.
Ketiga, dari analisis transformasi otonomi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya otonomi desa dalam era transisi pertama masih
bersifat sentralistis-homogenitas yang terbelenggu dalam pola
sentralistis, homogen dengan struktur yang hirarkis sehingga sulit
membawanya ke luar dari sistem yang telah ditentukan sebelumnya oleh
pusat. Kondisi ini menyulitkan pengaturan tata pemerintahan desa yang
masih menganut pola dualitas. Dalam era transisi kedua ada transformasi
otonomi yang bersifat desentralistis-heterogenitas dengan pemberian
otonomi yang lebih luas hingga ke tingkat desa. Sebelumnya, bidang
pelayanan didekonsentrasikan kepada desa, sedangkan pengambilan
keputusan strategis menyangkut desa tetap terpusat di Jakarta.
Transformasi dari sentralisasi ke desentralisasi kekuasaan terjadi
dengan mengembangkan tata pemerintahan desa dengan berbasiskan
keberagaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat. Dalam era transisi ketiga, otonomi desa kembali
bertransformasi menuju bentuk heterogenitas-resentralistis dengan
menguatnya kontrol negara via pemerintah supradesa terhadap desa lewat
kebijakan tentang desa terutama dalam hal pembentukan, penghapusan,
penggabungan, pengaturan perangkat pemerintahan desa, keuangan desa,
maupun pembangunan desa. Semuanya itu dilakukan oleh perangkat pemerintahan kabupaten yang ditetapkan lewat peraturan daerah dengan acuan kebijakan pemerintah pusat.
Keempat,
dari analisis implikasi transformasi demokrasi dan otonomi desa,
realitasnya ada tuntutan akan penguatan institusi-institusi demokratis,
peningkatan partisipasi masyarakat, dan membuat pelayanan publik yang
lebih tranparan, akuntabel dan responsif terhadap kepentingan masyarakat
desa. Pemerintah desa tidak lagi berjalan dan mengatur
dirinya sendiri sebagaimana halnya praktek sebelumnya, tetapi sudah
dikontrol dan diimbangi dengan kondisi masyarakat sipil dan masyarakat
politik (BPD-1 dan 2) yang aktif, artikulatif dan terorganisir.
Transformasi demokrasi dan otonomi bermakna penerapan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam tata
pemerintahan desa. Kehadiran masyarakat sipil yang terwadahi dalam
berbagai organisasi sosial desa yang berani mengartikulasikan
kepentingan masyarakat desa merupakan sebuah arus balik hegemoni negara
yang berlangsung sebelumnya. Begitu pula parlemen desa (terutama BPD-1)
selaku masyarakat politik sudah bertindak selaku mediating structure
atau instansi perantara yang menerjemahkan kekuasaan negara pada level
yang terbawah menjadi pemerintahan berdasarkan hukum, yaitu transpormasi dari the rule of power menjadi the rule of law.
TEMUAN BARU PENELITIAN
Temuan baru dalam penelitian ini: Pertama,
terjadi transformasi dari demokrasi normatif yang bersifat
otoritarian-leviathan pada era transisi pertama menjadi demokrasi
substansial yang bersifat libertarian liliput pada era transisi kedua.
Kondisi ini diikuti oleh terjadinya minimalisasi dominasi birokrasi desa
yang kemudian diimbangi oleh peran Badan Perwakilan Desa (BPD-1) maupun
institusi-institusi informal desa, seperti banjar adat, desa adat dan
sekeha teruna. Perimbangan peran antar lembaga dalam era transisi kedua
merupakan bagian dari modal sosial yang didalamnya berkembang
nilai-nilai partisipasi secara otentik.
Kedua, demokrasi substansial yang bersifat libertarian-liliput dalam era transisi kedua cenderung bertransformasi kembali menjadi demokratis
prosedural dalam era transisi ketiga. Keberadaan Badan Perwakilan Desa
(BPD-1) digantikan menjadi Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) selaku badan
legislatif baru di desa. Peran mengayomi adat istiadat, membuat
peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan desa tetap ada, namun minus hak untuk meminta
pertanggungjawaban kepala desa.
Ketiga, terjadi
transformasi otonomi yang bersifat sentralistis-homogenitas pada era
transisi pertama menjadi otonomi desentralistis-heterogenitas pada era
transisi kedua. Perspektif tata pemerintahan yang meminimalkan peranan
negara (governance as the minimal state) lalu diterapkan dengan
meminimalkan intervensi pemerintah pada kehidupan
masyarakat desa. Masyarakat mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur
dirinya sendiri karena peran pemerintah dibatasi hanya sebagai regulator
dan fasilitator saja. Sudah ada semacam mekanisme, praktek dan tata
cara pemerintah dan warga desa mengatur sumber daya mereka serta
memecahkan masalah-masalah publik yang muncul.
Keempat, otonomi desentralistis-heterogenitas pada era transisi kedua bertransformasi kembali menjadi otonomi yang bersifat heterogenitas-resentralistis dalam era transisi ketiga. Pemerintah supra desa menarik kembali beberapa hak otonomi desa sehingga tidak sepenuhnya menciptakan lingkungan yang bisa memfasilitasi masyarakat politik dalam lembaga legislatif desa, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi di desa dapat bersinergi dengan pemerintah desa.
Kelima,
kondisi transformasi demokrasi dan otonomi yang bersifat
dinamis-fluktuatif dalam era transisi tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan tata pemerintahan desa. Perkembangan tata pemerintahan desa
yang sudah baik dalam era transisi kedua kembali meredup dalam era
transisi ketiga seiring peran pemerintah supradesa yang dalam batas
tertentu–walau tidak sebesar dan sekuat seperti dalam era transisi
pertama—telah ikut menahan laju transformasi demokrasi dan otonomi desa.
Tampak belum adanya konsistensi dalam komitmen dan political will
pemerintah untuk menerapkan kebijakan demokrasi dan otonomi yang mendorong terwujudnya tata pemerintahan desa.
SIMPULAN PENELITIAN
Simpulan penelitian ini adalah
transformasi demokrasi dan otonomi dalam tata pemerintahan desa yang
berupa implementasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi masyarakat telah dimulai sejak akhir era transisi pertama,
mencapai puncak pada era transisi kedua, dan kembali menyurut pada era
transisi ketiga. Transformasi demokrasi desa yang hakekatnya merupakan
perubahan struktur, fungsi dan mekanisme pemerintahan desa bisa menjadi
lebih demokratis dengan tetap memperhatikan pelembagaan partisipasi
politik warga, kontrol efektif lembaga perwakilan desa dan
kekuatan kritis, transparansi dalam proses kebijakan desa, serta adanya
akuntabilitas kepada masyarakat desa selaku pemilik kedaulatan.
Transformasi otonomi desa bermakna penghormatan dualitas desa, kearifan
lokal di desa, penerapan desentralisasi dan memberikan kewenangan desa
menangani urusan yang secara asli menjadi kewenangannya dalam bingkai negara kesatuan.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A., dan Verba, Sidney, 1984. Budaya
Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta:
Bina Aksara.
Bennett, David (ed), 1993. Cultural Studies:
Pluralism and Theory, Melbourne, Melbourne: University Literary and
Cultural Studies, Volume 2
Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methodes for the Social Sciences, Boston: Indiana University of Pennsylvania.
Cheema, Shabir G., dan Rondinelli, Dennis
A.(eds) 1988. Decentralization and Development: Policy Implementation in
Developing Countries, Beverly Hill USA: Sage Publication.
Dahl, Robert A.1971. Polyarchy: Participation and Opposition, New Haven, Yale University.
___________, A., 1982. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, New Haven: Yale University.
Dwipayana, Ari, dan Eko, Sutoro (ed), 2003. Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press.
Eko, Sutoro dan Rozaki, Abdur (ed), 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta: Penerbit IRE Press.
Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat
Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Gaffar, Afan, 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Geriya, I Wayan, 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Held, David, 1987. Models of Democracy, Cambridge: Polity Press.
Holt, Claire (ed), 1972. Culture and Politics in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.
Jackson, Karl D., and Pye, Lucian W. (eds), 1978.
Poltical Power and Communications in Indonesia, Berkeley: University of
California Press.
Karim, Abdul Gaffar, (ed), 2003. Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
Kautilya (Canakya), Made Astana dan CS Anomdiputro (penerj.), 2003. Arthasastra, Surabaya, Penerbit Paramitha.
Maddick, 1963. Democracy, Decentralization and Development, Bombay: India, Asia Publishing House.
Mawhood, Philip, 1983. Local Government in The Third World, Chicester, UK: John Wisley and Sons.
Nordholt, Henk Schulte, 2006. The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan.
Piliang, Yasraf A., 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra.
Powel, Jr, G. Bingham, 1982. Contemporary
Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Mass.,
Harvad University Press.
Ritzer, George, 1980. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Said, Mas’ud, M., 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, Malang: UMM Press.
Santoso, Purwo dkk (ed), 2003. Pembaharuan Desa
Secara Partisipatif, Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi
Daerah UGM dan Pustaka Pelajar.
Smith, Brian, 1985. Decentralization, London UK: George Allen and Unwin
Sorensen, Georg, 2003. Demokrasi dan
Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang
Berubah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uhlin, Anders, 1995. Democracy and Diffusion:
Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors,
Sweden: Departement of Political Science, Lund University.
Warren, Carol, 1993. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA., selaku
promotor, Prof. Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS. selaku kopromotor
I, dan Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH. MH., selaku kopromotor II,
yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat dan
bimbingan mulai penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendididikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional melalui Tim Manajemen Program Doktor yang
telah memberikan bantuan biaya studi dalam bentuk BPPS, Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali yang menaungi Universitas Warmadewa, Pemerintah Kabupaten Bangli, serta kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur Pascasarjana Universitas Udayana beserta staf, dan Ketua Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana beserta staf.
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung, Suka postingan ini?Tinggalkan komentar di bawah ini, terima kasih! :)