Sumber |
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang
tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa
perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul
Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan
membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu
kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati
oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah
terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang
diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad
masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari
kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no.
135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil
ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk
hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila
seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang
air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air
besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut)
membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus
membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini
radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang
mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai
ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.”
(HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari
kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti
apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar
dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini
dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata:
“Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus
(yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah
hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya.
Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang
melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat
seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan
keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma,
maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu
Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah
bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya
Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats
dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum
muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu
Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak
menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar
hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus
menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang
kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur
di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut.
(Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali
berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk
bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka
akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi
atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari
kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan
wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas
tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan
nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan
suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan
itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan
melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang
istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan
shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat
hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan
keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah
Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib
baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani
seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah
hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang
merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat
cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya),
maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR.
Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila
jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus
mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung, Suka postingan ini?Tinggalkan komentar di bawah ini, terima kasih! :)