Sumber |
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah
ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul
ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka,
baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana
masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga
timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan
yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam
beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para
imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun
mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara
itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau
meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka
bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk
ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis
berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga
bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan
tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul
ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan)
yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu
ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh
Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan
menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik
(menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru
kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini
dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak
memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk
memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau
berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa
dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda
pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam
menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita …”
(An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian
mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama),
seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan,
‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin
Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh”
di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh
dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang
berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan
shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir
Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir
Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh
wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah
membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua
menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan
wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah
penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas
adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga
dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan
wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang
dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah jima’,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari
kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan
selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh
wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum
muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada
seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh
para wanita (istri).”
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu
‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan
pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan
syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara
tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat
sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh
wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari
salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat
yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama
saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu
darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi
sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan
berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa
bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di
antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu
beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan
ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku
kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan
Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan: كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ،
فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba
mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki
beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam
keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu
dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau
sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no.
486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah
mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi
Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku
berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya,
Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi
mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun
hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat
lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa
ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh
Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun
Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah
batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan
hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu
membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan
syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar
sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian
ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain
mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan
mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq.
Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan
berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i.
(Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih
dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i,
juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari
tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun
banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul
Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan
menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah
membatalkan wudhu. Sehingga
barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka
hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu
dinyatakan dengan pasti oleh kandungan
dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin
mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil
syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh
pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas
ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini
adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan
yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah
batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur)
seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama
saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas,
Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim
bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah,
Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat
mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah
sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian
juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal.
111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan,
qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya
lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini
dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il
ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam
hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga
karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang
meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal
Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh
Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan
beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in
berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa
Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal.
36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain
kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit
ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah,
Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan
Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut
penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara
darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu
namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat
Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu
adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat
walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada
tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh
Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu
niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk
mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya
atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada
saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat
radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan
pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak
dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari
mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul
Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu
‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita
mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka,
maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab:
49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh
yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh
Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi
sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung, Suka postingan ini?Tinggalkan komentar di bawah ini, terima kasih! :)